Wednesday, November 8, 2017

Sebuah Kisah Mengenai 'Teluh'

Sebuah Kisah Mengenai 'Teluh'

Teluh
By : Q Inna Rahmad

Lelaki itu mendengus kesal sembari berlalu dengan membanting keras pintu itu. 
Di dalam ruangan yang tak terlalu besar, wanita itu menangis sesenggukan meratapi nasib nya yang kian memburuk. Terlihat di kedua kelopak mata nya yang nampak lelah dengan sedikit kenduran pertanda usia yang tak muda lagi. 

Biadap laki-laki laknat dasar iblis kau. Hanya makian yang terus terlontar kan tanpa wujud seseorang yang di maki, nada nya pun begitu tinggi terlihat jelas amarah yang kian memuncak di ubun-ubun. 
Tak sampai berapa lama mulut nya terhenti untuk memaki. Tak ada guna memaki dalam sendiri karna percuma tak ada rupa si penerima makian, hanya saja mulut nya tetap bergetar petanda dendam yang makin menggebu gebu dalam jiwa. 

Aku bersumpah akan menuntut balas atas segala perlakuan mu, aku tak perduli atau takut pada siapa pun karna selama ini tak pernah ada yang mengasihani ku. Termasuk juga engkau Tuhan, kata nya kau ada tapi kenapa kau tak pernah menunjuk kan secuil pertolongan mu untuk ku? Sudah cukup kesabaran ini aku tak sanggup selalu menjadi yang lemah.

Hari sudah beranjak siang, tiba-tiba pintu di buka dengan keras secara paksa setengah mendobrak dari luar. 
Bangun cepat bangun jangan kamu bermalas malasan dasar wanita tak berguna. Cacian nya menyeret paksa wanita itu menuju dapur. 
Siap kan saya makan, cepat. Bentak nya lagi sambil melotot di iringi suara hantaman tangan pada sebuah meja kumuh.
Dengan deraian air mata yang tiada henti wanita itu mencoba melakukan aktifitas layak nya se orang ibu rumah tangga, kompor di nyalakan beberapa kali namun tak juga menyala. 
''Sial gas nya habis, bagaimana saya bisa masak?'' Pikir nya di tengah kebingungan di antara takut yang mulai menyergap.
Tak berapa lama sebuah kepalan tangan mendarat sempurna di pipi nya. Kini ia hanya bisa diam dalam pasrah untuk menerima semua nya, hanya sesekali terdengar rintihan yang memelas agar lekas menghentikan aksi nya.

Tak perduli dengan tangis dan rintihan nya lelaki itu terus mendarat kan tangan nya pada tubuh si wanita itu, sampai benar-benar habis tenaga untuk terus memukuli.
Seperti biasa usai menyakiti lelaki itu pergi lagi dengan hal yang serupa membanting pintu dengan keras, hal ini sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga mereka jadi tak ada lagi tetangga yang heran akan keributan yang di dengar. Entah mereka takut atau hanya tak ingin ikut campur untuk mengurusi keluarga orang lain yang pasti mereka seolah tak acuh, dengan tidak menganggap keberadaan pasangan lelaki dan wanita itu.

Kini hanya tangis dan makian yang bisa ia lakukan tak ada lagi selain memaki nya ketika lelaki itu pergi. Entah kenapa tak ada keberanian atau pun tenaga untuk melawan.
Se orang suami yang kejam Ayah yang kejam, aku rela jika aku di siksa asal kamu tidak mengambil anak ku, dan menjual nya pada lelaki hidung belang itu demi sebuah kepuasan mu di duniawi. Ingat Warsono aku tak akan pernah terima segala perlakuan mu, setiap tetesan air mata ku dan putri ku kau harus membayar mahal. Umpat nya dalam hati yang terus menggebu gebu. 

Perlahan wanita itu mulai bangkit meski sedikit sempoyongan, ia mengambil dan memasuk kan barang-barang yang di anggap nya berharga.
Lagi-lagi aku kalah. Dasar setan kalian semua. Pasti kalian semua sengaja kan? Kalian semua sekongkol untuk membohongiku kalian semua curang, aku gak terima atas perlakuan kalian pokok nya sepeser pun aku tak akan mengeluar kan uang hanya untuk kecurangan kalian. Biadap kau Warsono jika kau bodoh tak usah menyalah kan kami mencurangi mu bilang saja jika kau tak ada uang untuk membayar semua hutang mu. Setan kau bangsat kalian semua, akan ku bunuh kau.

Belum selesai Warsono melanjut kan cacian nya tubuh nya pun terguling guling keluar dari area perjudian, rupa nya mereka semua sepakat menendang Warsono dengan kompak layak nya orang berdemo.
Sebuah lirikan dendam terpancar dari mata nya yang merah karna amarah yang menggunung. 
Ku balas kalian semua lihat saja jika aku kaya nanti akan ku beli mulut-mulut kalian yang menghina ku. Terbesit dalam otak nya sebuah ide yang di anggap cemerlang.

Seluruh isi ruangan rumah tak di dapati sosok istri nya yang selama ini jadi amukan jika ia kalah berjudi dan tak bisa bersenang senang dengan wanita malam langganan nya. 
Gelas bekas kopi hitam yang nampak sudah mengering ampas nya di lempar kan keras ke lantai, akibat ia tak mendapati istri nya dalam rumah. Kini semua barang-barang dalam rumah menjadi amukan nya. 
Dasar wanita gak berguna rupa nya dia sudah berani melawan ku dgn pergi dari rumah ini, awas saja jika aku menemukan mu kan ku gantung kau hidup-hidup.

Langkah kaki yang tak tentu arah entah kenapa ahir nya berjalan menuju sebuah gubuk pinggir hutan padahal sebelum nya wanita itu tak tahu arah mana yang akan di tuju, namun seolah ada yang mengomando kaki nya untuk menuju gubuk yang hampir reot itu dengan di terangi lampu teplok yang cahanya terlihat tamaram di senja hari itu dengan separuh matahari yang mulai terbenam, pertanda pergantian nya dengan bulan dan bintang kian tiba jadwal nya.
Perlahan pintu di ketuk dengan ragu sesekali mata nya liar memandang ke kiri dan ke kanan, hembusan angin semilir membuat badan nya menggigil kecil. Ragu-ragu ia terus mencoba mengetuk pintu yang seolah hampir roboh itu dengan penuhan lubang di sana sini. Jika saja tak menjaga etika maka ia ingin sekali langsung memasuki gubuk reot itu untuk ber istrihat paling tidak sampai matahari kembali nampak lagi menyingsing kan sinar nya.

Krekk.. pintu terbuka dengan suara deritan yang cukup membuat telinga terasa nyeri, terlihat se orang kakek tua dengan tulang rusuk yang terlihat menonjol hanya terlilit kulit tanpa daging. Kemudian kakek itu pun menyeringai mencoba memberikan senyuman ramah meski kini tak terlihat deretan gigi di mulut nya. Dengan hanya mengenakan celana hitam tanpa baju yang sengaja memperlihat kan badan kurus nya. Kakek tua itu pun menyuruh wanita itu masuk tanpa ia harus berbasa basi menanyakan siapa gerangan wanita di hadapan nya itu.

Wanita itu hanya menurut saja saat lengan nya di gandeng pelan oleh tangan keriput itu menuju sebuah kursi kuno besi berkarat yang bagian duduk nya tak ada bantal atau apa pun itu sebagai pengempuk, hanya sebuah papan sebagai penyangga untuk diduduki.

Siapa nama mu, kenapa kau bisa sampai kesini? 
Aku Ratih kek aku pergi dari rumah kabur dari suami yang selalu tega menyiksaku, setiap hari aku selalu jadi bahan amukan nya pukulan tiap pukulan mendarat di tubuh ku belom lagi ia sampai tega hati menjual anak kandung nya sendiri demi bisa melanjut kan hobi nya bermain judi dan bermain wanita. Aku capek dan lelah dengan semua ini aku ingin terlepas dari segala masalah ku, karna pasrah dan sabar pun tak kunjung membuah kan hasil indah, sudah cukup lama aku bersabar menanti keajaiban tiba. Tapi yang ku dapat malah siksaan fisik dan batin yg kian menjadi jadi. 
Bahkan kini aku sudah tak percaya lagi dengan yang nama nya Tuhan yang menjanji kan kebahagian bagi orang sabar yang menerima penganiayaan atas diri nya. Namun itu semua hanya sebuah janji yang tak pernah ku dapati selama pasrah dan sabar ku.

Sekarang pun aku tak tahu bagaimana nasib anak ku, di mana ia berada pun aku tak tahu. Pandangan Ratih terus menerawang ke depan terlihat jelas ia mengingat semua derita kelam yang sedang ia alami, air mata nya pun tak henti nya mengalir membasahi pipi kusam penuh lebam.
Apa kamu ingin menuntut balas? 
Tentu kek aku ingin menuntut balas pada laki-laki laknat itu, jika saja aku mampu untuk melakukan nya. Tapi seperti nya aku terlalu lemah untuk itu semua. 
Meskipun amarah meraja lela dalam diri tapi nyali ku masih ciut untuk melawan nya secara terang terangan.
Tak terasa hari sudah gelap, semua masalah nya kini telah ia ceritakan pada lelaki tua yang menyebut diri nya sebagai kakek Ruwan.

Baik jika seperti itu masalah mu, saya bisa membantu, dan dengan tangan mu sendiri kau bisa membunuh suami mu itu, kau bisa meneluh nya namun sebelum nya kau siksa dulu dia, jadikan kembang amben agar di ujung ajal nya ia menderita kesakitan yang tak tertandingi. Sakit hati mu harus ia bayar mahal dengan nyawa.

Aku setuju kek karna emang ini yang aku harap kan aku ingin tangan ku sendiri yg akan mencabut nyawa nya dan membuat dia menderita kesakitan merasakan sakit yang selama ini aku alami hari demi hari pukulan tiap pukulan ia darat kan pada ku tanpa merasa kasihan ia terus membabi buta seperti sedang memburu babi hutan, aku di siksa nya tanpa ampun. 
Kan ku ingat semua itu kek sampai kapan pun aku tak akan pernah lupa karna memori otak ku sudah terisi penuh oleh kelakuan jahannam nya. Walaupun nanti raga ku musnah tapi kisah dalam hidup ku akan terus membekas dalam ingat anak ku karna ia saksi di mana penderitaan ku saat di aniaya di pukuli tanpa ampun. 
Gara-gara laki-laki bangsat itu juga anak ku kini menjadi korban masa depan nya terenggut tak ada lagi secercah sinar terang dalam kehidupan nya kelak, semua nya suram tak ada kisah indah mengisi masa remaja nya. Memang sunggu ayah biadap, kelakuan nya lebih buruk dari se ekor binatang.

Bangsat perempuan tidak tahu di untung, sudah bagus dulu aku memungut nya di jalanan. Sekarang dia malah tidak tahu balas budi, awas saja jika aku sampai tahu tempat persembunyian mu. Aku tidak akan segan-segan membunuh mu, percuma saja kau hidup juga tak berguna di jual pun tak akan laku tak akan ada yang mau membeli. 
Dasaar perempuan setan. Maki nya membanting kan piring-piring yang terjejer di atas meja dengan debu-debu yang berhamburan pertanda jika piring itu sudah lama tak di gunakan. 
Lelah memaki sendiri dan membanting semua peralatan rumah Warsono menghempas kan tubuh nya pada kursi kusam berwarna coklat tua yang kain nya sudah lapuk termakan usia. 
Lekas sekali ia terlelap memasuki lorong mimpi dengan pakaian sedari kemaren belum ia ganti bau alkohol bekas kemaren saat berpesta miras sambil berjudi pun masih melekat kuat di tubuh Warsono menemani tidur lelap nya.

Di sebuah pinggiran hutan dalam gubuk reot kakek Ruwan dan Ratih masih belom menghampiri mimpi nya ia masih terlihat sibuk mempelajari kitab berwarna kuning kumuh yang di kasih oleh kakek Ruwan, dengan lincah ia terus mempraktek kan anjuran ajaran kitab tersebut, semangat yang tinggi terpancar jelas pada diri Ratih yang berterus-terusan mencoba berkonsentrasi dalam mempelajari nya. 
Itu semua tak luput dari penglihatan kakek Ruwan yang sedari tadi terus mengawasi Ratih dari sudut ruangan, di atas tempat tidur berbahan kayu tanpa alas kasur di bawah nya hanya tikar lusuh yang terdapat sobekan. Kakek Ruwan terus memperhatikan Ratih yang masih duduk di atas kursi reot yang sejak tadi awal sampai tengah malam masih ia duduki tanpa berpindah tempat.

Semangat anak itu emang luar biasa amarah nya terus mendorong nya untuk bisa segera melaksanakan dendam yang selama ini ia pendam. Seru dalam hati kakek Ruwan dengan sedikit tersenyum kecil dari bibir nya yang penuh kerutan. 
Jika kamu sudah bisa menguasai semua ilmu dalam kitab itu maka besok malam pun kamu bisa langsung mempraktek kan nya. Seru kakek Ruwan di tengah kekaguman nya.
Ehh kakek belom tidur, aku lagi mencoba menghafal semua nya sebelum nanti kitab ini di bakar. Karna aku sudah tak sabar lagi ingin mencoba ilmu yang kakek berikan pada ku, dan aku sangat beruntung bisa bertemu dengan kakek apa lagi ilmu kakek ini kakek waris kan pada ku padahal dulu kakek adalah dukun teluh yang sangat sakti.

Tak usah memujiku lekas lah lanjut kan pekerjaan mu, sebelum ahir nya kakek Ruwan membaringkan tubuh renta nya yang hanya tinggal tulang belulang terbungkus kulit tanpa daging. Ratih melihat nya sedikit iba karna di usia nya yang sudah senja ia tinggal se orang diri di pinggiran hutan tak ada rumah penduduk di daerah gubuk ini bahkan untuk makan pun Ratih juga tak tahu apa yang selama ini kakek Ruwan makan, dalam hati nya ia hanya berjanji akan membalas jasa kakek Ruwan dengan membalas kebaikan nya merawat kakek Ruwan di hari tua nya sampai nanti akan tiba di pangkuan Tuhan.

Mentari mulai menyingsing kan sinar nya pertanda ia akan siap muncul menyinari bumi, kicauan burung hutan saling bersahutan indah, tenang damai tentram mendengar nya sejenak tak ada beban di rasa oleh Ratih, rupanya udara sejuk nan asri hutan ini serta nyanyian burung liar mampu menghipnotis nya sesaat. 
Jangan lama-lama berdiri di sini lekas lah ikut aku, kaget nya dari keterpakuan pada nyanyian burung langsung buyar saat suara serak itu mengaget kan dari belakang. 
Ikut kemana kek? 
Mencari makan, kamu tidak tahu kan bagaimana cara mencari makan di hutan ini. 
Kita berburu? Seru nya riang sambil melambai mengikuti dari belakang. 
Itu buruan kita segera kau bacok kan pisau itu tepat di kepala nya. 
Ular? Ujar nya kaget. 
Apa pun itu bentuk nya asal bisa di makan dan mengganjal perut, jangan banyak diam nanti buruan kita kabur.

Sekali hempas pisau itu menancap pada ular tersebut. 
Tak perlu banyak cara mengolah nya, cukup bakar saja dengan bara api ini. Nih untuk mu, setusuk sate ular yang masih melilit pada sebuah kayu dengan warna agak kegosongan, di sodor kan tanpa penyedap yang menempel pada daging ular itu. 
Kakek Ruwan terlihat lahap melumat habis sate ular buatan nya. Ratih hanya membolak balik kan kayu yang menjadi penusuk ular itu, walau kini perut nya sudah mulai manabuh gendang namun ia tetap ogah untuk menyantap nya, kakek Ruwan melihat nya tak suka dengan prilaku Ratih yang masih merasa jijik itu.

Itu hanya makanan mu satu-satu nya karna kita hanya berburu sekali dalam sehari, pagi ini kita makan dan besok pagi lagi kita makan jadi makan lah makanan mu sebelum saya merasa tersinggung lalu mengambi makanan yang kau pegang. Biasa kan diri mu karna hari esok menu kita juga masih sama tak akan berubah, kecuali rejeki menghampiri ada se ekor kelinci hutan baru bisa makan enak daging kelinci. Tapi itu sulit dan jarang sekali hanya ular yang banyak di jumpai. Jadi cepat makan lah sebelum saya marah pada mu.
Pelan-pelan ujung lidah Ratih mulai menyentuh ular gosong itu mata nya pun masih terpejam erat tak ingin melihat apa yang kini akan di santap nya, kakek Ruwan melihat nya tertawa geli karna wajah Ratih tampak lucu mencicipi makanan baru nya.

Warsono terperanjat kaget saat kursi yang ia tiduri di banting keras oleh seseorang hingga tubuh nya pun terguling ke lantai yang tak rata itu, kemasi semua barang-barang mu lalu lekas lah angkat kaki dari rumah ini, aku sudah muak dengan janji mu itu. 
Belum sempat bangkit dari jatuh nya tubuh nya pun di angkat paksa oleh ke dua orang berbadan tinggi besar lalu melempar kan nya keluar pintu, semua tetangga di samping nya melihat dengan kerumunan ibu-ibu yang sedang berbelanja di tukang sayur.

Warsono hanya mengerang penuh amarah tanpa bisa melawan atau memberontak, ia pergi begitu saja tanpa membawa barang-barang nya. Terdengar suara ribut di belakang tapi Warsono enggan untuk menoleh karna ia tahu betul jika suara itu adalah suara barang-barang nya yang telah di lempar keluar. 
Bajingan awas kalian semua, akan ku balas semua ini aku tidak terima di permalukan di depan umum, ini harus ada balasan nya yang setimpal.
Penderitaan Warsono tak ada hentinya setelah di usir paksa dari kontrakan nya rupa nya ia di buru orang untuk membayar hutang, pontang panting Warsono lari karna ia tak ingin mati konyol di kroyok mereka semua. 

Sementara itu Ratih yang telah selesai menyantap sarapan pagi nya ia nampak mual memegangi perut nya makanan yang tadi ia makan malah kembali keluar lagi, kakek Ruwan hanya memperhatikan dengan senyuman tanpa berbuat apa-apa untuk menolong Ratih.
Warsono seharian di kejar-kejar ia terus bersembunyi di bawah jembatan berharap tempat persembunyian nya aman agar mereka semua yg mengejar nya tak dapat menemukan ia di bawah jembatan. 
Ratih yg kini sudah hafal semua dari isi kitab kuning itu, ia akan membakar nya dengan pertanda bahwa diri nya sudah hafal dan siap menerima warisan ilmu yang di berikan kakek Ruwan. 
Malam ini tak ada sinar bulan yang menyinari, awan hitam pun terlihat menggantung di atas sana se olah hendak mau menumpah kan isi nya "air" angin yang terus ber hembus kencang menjadi teman dingin bagi Warsono tubuh nya menggigil sendiri di bawah jembatan yang hanya di terangi oleh pantulan cahaya lampu dari atas. 

Angin terus menyapa nya membawa debu yang berterbangan, sesekali mata Warsono kelilipan, ia terus mengucek mata nya. Cacing dalam perut nya pun mulai manabuh gendang, ia baru ingat jika baru kemaren siang perut nya di isi oleh makanan. Mata nya liar melihat kesana kesini mengawasi setiap gerakan orang yang melintas berharap jika tak ada lagi si penagih hutang itu agar ia bisa lekas keluar untuk mengisi perut nya yang kosong. 
Tukang asongan penjual gorengan pun jadi sasaran nya sebungkus gorengan di rampas tanpa meminta nya dengan lembut, dengan rasa penuh ketakutan serta tangan sedikit gemetar penjual gorengan itu memberikan gorengan tersebut secara gratis.

Emperan tokoh pun jadi sandaran nya untuk ber istrihat setelah seharian ia merasa lelah berlari dari rekan kawan nya dulu di perjudian. 
Angin terus semakin kencang langit pun makin gelap dgn awan hitam, seolah bumi pun tau jika akan terjadi sesuatu yang buruk pada Warsono.

Ayam hitam telur ayam jarum beserta boneka pun sudah rapi di atas meja kecil berlapis kain hitam, aroma kemenyan membungbung tinggi memenuhi seluruh ruangan gubuk, disana terlihat kakek Ruwan dan Ratih duduk saling berhadapan saling duduk menyila dengan kedua tangan yang di letak kan di atas lutut nya, mata nya pun terpejam. 
Lalu di ambil nya sebuah ayam hitam dan di sembelih lah oleh Ratih, darah hitam dari ayam tersebut mengucur deras membasahi boneka yang telah di tusuk kan jarum pada bagian perut nya, ayam pun di ambil di belah perut nya lalu di masuk kan telur ayam pada perut ayam hitam itu. Jarum yang menancap di perut boneka di cabut di celup kan ke dalam air bunga dalam baskom yang telah di persiap kan sebelum nya, mulut wanita berkepala empat itu nampak berkomat kamit merapal mantra, di tiup kan nya pada sebuah jarum yang di pegang, sebelum kemudian di tusuk kan pada telur yang berada dalam perut ayam hitam itu. Telur pun pecah akibat keras nya tusukan jarum nya, isi dari telur itu tumbah dalam perut ayam tersebut.

Di depan emperan tokoh Warsono menggeliyat tubuh nya terpental akibat rasa sakit perut yang tiba-tiba datang melanda, badan nya mengejang kaku menahan rasa sakit dengan mulut yang kini mengeluar kan busa putih ke kuningan, pemulung di sekitar nya melihat heran atas Warsono yang tiba-tiba merintih kesakitan penuh busa di mulut nya, sebagian dari mereka malah memilih berlari meninggal kan Warsono yang sedang mengejang kesakitan. Bau busuk pun mulai tercium dari cairan busa yang keluar dari mulut nya, sebagian dari mereka yang masih bertahan melihat Warsono kini juga memilih untuk kabur meninggal kan Warsono karna bau cairan yang keluar dari mulut Warsono kini tak tertahan kan lagi bau nya, mereka hampir muntah di buat nya. 

Di malam yang sunyi Warsono hanya merintih meminta tolong berharap ada yang akan mengasihani ia, saat rasa sakit seperti ini baru melintas rasa penyesalan dalam diri nya mengingat istri serta anak nya yang selama ini telah ia aniaya.
Di tengah malam yang hanya terpantul kan cahaya lampu jalan dengan sinar yang tamaram angin yang masih terus berhembus kencang Warsono merintih menangis menahan sakit pada perut nya yang terasa seperti di robek-robek dari dalam serta di tusuk-tusuk dari dalam. Yang kini perlahan perut nya pun mulai membuncit di situ lah untuk yang pertama kali nya ia merindui istri dan anak nya, mulut yang penuh busa itu tak henti nya memanggil nama Ratih dan Fifit anak nya.

Pagi pun menjelang di area jalan sudah nampak orang yang berlalu lalang entah itu berjalan kaki atau berkendaraan, semua mata melirik ke Warsono hanya sekedar melirik saat melintas, mereka melihat nya jijik, seperti bau bangkai mungkin lebih buruk dari bangkai. 
Pemilik tokoh pun memarahi semua karyawan nya ia tak terima lelaki itu berada di depan tokoh nya, tak mau tahu pokok nya lelaki berbau busuk itu harus segera pergi dari hadapan nya. Seluruh karyawan pria jijik untuk menggotong tubuh Warsono dan memindai nya entah kemana. Ahir nya di letak kan tubuh tak berdaya Warsono di sebuah bawah jembatan tak jauh dari tempat sebelum nya, bawah jembatan tempat Warsono yang sebelum nya bersembunyi dari tukang penagih hutang.

Di geletak kan begitu saja tubuh Warsono. 
Warsono hanya meraung kesakitan saat badan nya setengah di lempar ke tanah.
Ratih yang sedari tadi malam juga masih terus melakukan aksi nya ia tak henti nya terus menusuk kan jarum itu pada sebuah boneka yang penuh dengan darah ayam hitam. 
Entah sampai kapan Ratih menghentikan aksi nya menyiksa Warsono.

Beranda Mistery

Artikel Terkait

Sebuah Kisah Mengenai 'Teluh'
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email